Senin, 30 Januari 2012

Motor CB gak ada matinya....

Ini adalah gambar motor CB 100 tahun 1980 yang disulap menjadi motor CB dengan desain masa kini. Motor ini dibeli pada Nopember 2009 dengan harga 5,5 jt. Honda CB 100 dengan nopol AE 6582 SE mengalami beberapa kali perubahan dalam pendesainannya. Spesifikasi Honda CB 100 ini adalah memakai velg Rossi dengan ukuran depan 2.75-17-185 sedangkan belakang 3.00-17-215. Untuk lampu belakang menggunakan casing lampu motor Cina. Cakram depan menggunakan cakram variasi Suzuki Smash. Tromol belakang menggunakan tromol Honda Grand. Tangki mengalami perubahan yang semula tangki desain "Nganjuk" menjadi tangki imitasi CB 100. Untuk slebor depan menggunakan slebor Jupiter MX. Lampu depan menggunakan lampu halogen mobil. Untuk Block atas mesin telah dimodifikasi diganti dengan mesin Tiger 200cc. Sistem pengapian sudah menggunakan CDI. Untuk rangka menggunakan rangka CB 100 asli.

monggo dikomen Pak Lik.. Bu Lik..

Mimpi Inter Milan tertunda......

Laga Lecce vs Inter Milan pada 29 Januari 2012 dalam lanjutan Liga Serie A Italia menyisakan kekecewaan bagi Interisti... Inter Milan yang diunggulkan dalam laga ini harus menerima kekalahan 0-1 dari Lecce. Gol tunggal dilesatkan oleh Giacomazzi pada menit ke-40. Hal ini juga membuat jarak poin dengan pemuncak klasemen sementara semakin jauh yaitu terpaut 9 poin. Kekalahan Inter Milan juga menjadikan urutan klasemen harus melorot menjadi urutan kelima setelah Lazio menang dari Chievo.

monggo dikomen Pak Lik.. Bu Lik..

Jumat, 27 Januari 2012

Skripsi PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN TANPA RESEP DI APOTEK WILAYAH SURABAYA DENGAN KASUS DIARE PADA LANJUT USIA


SKRIPSI


BRAM SETYO LEKSONO


PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN TANPA RESEP
DI APOTEK WILAYAH SURABAYA
DENGAN KASUS DIARE PADA LANJUT USIA






 












FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KOMUNITAS
SURABAYA
2011
LEMBAR PENGESAHAN

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN TANPA RESEP
DI APOTEK WILAYAH SURABAYA
DENGAN KASUS DIARE PADA LANJUT USIA



SKRIPSI
Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi
Pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya
2011




Oleh

BRAM SETYO LEKSONO
050710091




 Skripsi Telah Disetujui Oleh:



Pembimbing Utama                                  Pembimbing Serta



Hanni P. Puspitasari,SSi.Apt.,M.Phil.   Dra. Ekarina R. Himawati,Apt.,M.Kes
NIP.197905122002122001                     NIP.196101081987012001
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya yang tiada henti, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan  skripsi yang berjudul PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN TANPA RESEP DI APOTEK WILAYAH SURABAYA DENGAN KASUS DIARE PADA LANJUT USIA dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1.               Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Dr. Hj. Umi Athijah, Apt., M.S. yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menggunakan sarana dan prasarana yang diperlukan selama penelitian.
2.               Ibu Hanni P. Puspitasari, S.Si., Apt., M.Phil. selaku dosen pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan masukan kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3.               Ibu Dra. Ekarina Ratna Himawati, Apt., M.Kes. dan Ibu Anila Impian Sukorini, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing serta yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan masukan kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4.               Ibu Yunita Nita, S.Si., Apt., M.Pharm. dan Ibu Azza Faturrohmah, S.Si., Apt., M.Si. selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
5.               Ibu Dra. Rakhmawati, Apt., M.Si. selaku dosen wali yang telah membimbing dan memberikan nasehat kepada saya selama studi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
6.               Bapak dan Ibu Dosen dan staf Departemen Farmasi Komunitas yang telah memberikan masukan dan bantuan kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
7.               Para Dosen pengajar di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah mengantarkan saya dalam menyelesaikan studi di Fakultas Farmasi ini.
8.               Bapak Daryatmo dan Ibu Sumartini selaku kedua orang tua saya dan segenap keluarga di Ponorogo, terima kasih atas doa, dukungan, pengorbanan, kesabaran, dan rasa sayangnya sehingga sampai saat ini saya dapat menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi.
9.               Kawan-kawanku semua: Kawanku yang di Ponorogo, Surabaya, dan dimanapun tempatnya yang telah memberikan arti kehidupan, motivasi, dan selalu bersama dalam suka dan duka. Hidup ini tidak akan berarti tanpa kalian semua.
10.           Seluruh keluarga besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, saran dan kritik yang bersifat membangun akan sangat membantu. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.





Surabaya, 21 Februari 2011



Penyusun













Ringkasan

Salah satu gejala yang sering menyerang masyarakat Indonesia adalah diare. Diare dapat dilakukan pengobatan sendiri tanpa resep dari dokter. Diare pada pasien lanjut usia memerlukan perhatian dan penanganan khusus terkait besarnya prevalensi terjadinya dehidrasi. Pada pasien diare lanjut usia perlu penanganan khusus dalam pemberian obat maupun terapi non obat, sehingga diharapkan petugas apotek melakukan patient assessment, memberikan rekomendasi, dan menyampaikan informasi yang tepat. Ada banyak obat diare yang dapat dibeli tanpa resep di apotek. Selama melakukan pelayanan kefarmasian, petugas apotek sebaiknya menggali dahulu informasi dari pasien (patient assessment) sebelum dilakukan rekomendasi dan informasi terkait obat dan non obat.
Penelitian ini menggunakan metode simulasi pasien. Pengamatan dilakukan di 90 apotek wilayah Surabaya yang terpilih secara acak. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengamat yang berskenario, mengamati pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh petugas apotek. Data yang didapat berupa variabel patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan non obat. Dalam pengamatan tersebut dilakukan pencatatan  dalam check list dan pengolahan data dilakukan dengan SPSS.
Sebanyak 54% apotek di wilayah Surabaya melakukan patient assessment dalam memberikan pelayanan kefarmasian pada kasus diare lanjut usia. Dari data yang diperoleh terlihat sebanyak 33,3% apotek melakukan patient assessment terkait siapa yang sakit diare. Semua apotek memberikan rekomendasi berupa pemberian obat dan kebanyakan golongan obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek adalah obat keras. Obat yang paling banyak diberikan berdasarkan mekanisme kerja adalah anti motilitas sebanyak 43 buah (48%) disusul dengan adsorben sebanyak 38 buah (43%). Sebesar 92% apotek memberikan informasi obat sebagai tindak lanjut dari pemilihan obat. Apotek yang memberikan informasi obat berupa dosis sebesar 84,4% dan informasi non obat berupa pemberian cairan elektrolit sebesar 5,6%. Sebagian besar informasi tentang dosis diberikan setelah diajukan pertanyaan pancingan.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pelayanan kefarmasian tanpa resep di apotek wilayah Surabaya masih perlu peningkatan profesionalisme pelayanan. Sehingga perlu adanya andil dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan juga dari kesadaran peningkatan kualitas pelayanan dari pihak apotek itu sendiri.
























PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN TANPA RESEP DI APOTEK WILAYAH SURABAYA DENGAN KASUS DIARE PADA LANJUT USIA

Abstract

Diarrhea is a symptom that often attacks people of Indonesia. Diarrhea can be relieved without prescription medicines. Diarrhea in elderly patients requires considerable attention and treatments related to the prevalence of dehydration. There are many diarrhea medicines that can be bought without a prescription at pharmacies. During the service of pharmacy, the pharmacist should assess the patients prior to giving recommendations and provide medicine and non medicine information.  
This study used a patient simulation method. Observations were made at 90 randomly selected pharmacies in Surabaya. The researcher acted as observer for pharmacy services performed by pharmacy staff. The observations were recorded in check lists, then data were analysed using SPSS version 11.5.
A total of 30 pharmacy staff (33,3%) assessed their patients who request anti diarrhea medicines. More than 50% of medicines recommended were prescription only-medicines. Types of information mustly given related to medicines and non-medicines were dosing (84,4%) & taking oral rehidration solution (5,6%), respectively.
In general, the pharmaceutical service without a prescription in Surabaya pharmacies for diarrhea cases in the elderly is still far below the standards of pharmaceutical care.
Keywords
Diarrhea, elderly, non-prescription, pharmaceutical service, Surabaya pharmacies.




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN  .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
RINGKASAN.......................................................................................................... v
ABSTRAK............................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... xiii
BAB I . PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1.  Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2.  Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
1.3.  Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
1.4.  Manfaat Penelitian.............................................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5
2.1. Tinjauan Tentang Apoteker dan Tenaga Kefarmasian ....................................... 5
2.2. Tinjauan Tentang Apotek dan Pharmaceutical Care ........................................ 5
2.3. Tinjauan Tentang Pelayanan Obat Tanpa Resep................................................. 6
2.3.1. Definisi Pelayanan Obat Tanpa Resep..................................................... 6
2.3.2. Tahapan Pelayanan Obat Tanpa Resep..................................................... 6
2.3.2.1. Patient Assessment......................................................................... 6
2.3.2.2. Rekomendasi................................................................................. 7
2.3.2.3. Informasi Obat dan Non Obat...................................................... 7
2.4. Tinjauan Tentang Diare....................................................................................... 9
2.4.1. Definisi Diare............................................................................................ 9
2.4.2. Diare Akut dan Diare Kronik................................................................... 9
2.4.3. Penyebab Diare......................................................................................... 10
2.4.4. Klasifikasi Diare........................................................................................ 11
2.4.5. Kondisi Pasien Diare Yang Perlu Dirujuk................................................ 12
2.4.6. Terapi Farmakologi................................................................................... 12
2.4.6.1. Adsorben........................................................................................ 12
2.4.6.2. Anti peristaltik/anti motilitas.......................................................... 12
2.4.6.3. Anti secretory................................................................................. 13
2.4.6.4. Probiotik......................................................................................... 13
2.4.6.5. Anti infeksi..................................................................................... 13
2.4.7. Terapi Non Farmakologi........................................................................... 14
2.4.7.1. Cairan dan elektrolit........................................................................ 14
2.4.7.2. Pengubahan pola makan.................................................................. 14
2.5. Tinjauan Tentang Lanjut Usia............................................................................. 15
2.6. Tinjauan Tentang Obat........................................................................................ 15
2.6.1. Definisi Obat............................................................................................ 15
2.6.2. Penggolongan Obat.................................................................................. 15
2.7. Tinjauan Tentang Metode Simulasi Pasien......................................................... 16
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL .............................................................. 18
BAB IV METODE PENELITIAN........................................................................ 19
4.1. Jenis Penelitian ................................................................................................... 19
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................................. 19
4.3. Populasi Penelitian.............................................................................................. 19
4.4. Sampel Penelitian................................................................................................ 19
4.4.1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................... 20
4.4.2. Besar Sampel............................................................................................ 20
4.4.3. Teknik Sampling....................................................................................... 20
4.5. Sumber Data ...................................................................................................... 21
4.6. Variabel Penelitian.............................................................................................. 21
4.7. Instrumen............................................................................................................ 22
4.7.1. Skenario.................................................................................................... 22
4.7.2. Check list.................................................................................................. 24
4.8. Definisi Operasional ........................................................................................... 24
4.9. Validitas dan Reliabilitas Instrumen .................................................................. 26
4.9.1. Uji Validitas.............................................................................................. 26
4.9.2. Uji Reliabilitas........................................................................................... 28
4.10. Metode Pengumpulan Data.............................................................................. 28
4.10.1. Kerangka Operasional Penelitian............................................................ 29
4.10.2. Kerangka Operasional Pengumpulan Data............................................. 30
4.11. Teknik Analisa Data ......................................................................................... 30
BAB V HASIL PENELITIAN............................................................................... 32
5.1. Patient Assessment.............................................................................................. 32
5.2. Rekomendasi....................................................................................................... 33
5.3. Informasi Obat.................................................................................................... 37
5.4. Informasi Non Obat............................................................................................ 39
BAB VI PEMBAHASAN....................................................................................... 40
6.1. Patient Assessment.............................................................................................. 40
6.2. Rekomendasi....................................................................................................... 42
6.3. Informasi Obat.................................................................................................... 43
6.4. Informasi Non Obat............................................................................................ 45
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 47
7.1. Kesimpulan......................................................................................................... 47
7.2. Saran................................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 49
LAMPIRAN ............................................................................................................ 51













DAFTAR TABEL

Tabel IV.1. Variabel Penelitian................................................................................ .21
Tabel V.1. Distribusi Komponen Patient Assessment yang Ditanyakan oleh Petugas Apotek………………………................................................................ . 33
Tabel V.2. Jenis Rekomendasi yang Diberikan........................................................   33
Tabel V.3. Rentang Harga Obat yang Direkomendasikan………………………….            33
Tabel V.4. Jenis Obat yang Direkomendasikan……………………………………. 34
Tabel V.5. Jenis Obat yang Direkomendasikan Berdasarkan Penamaan…………..  36
Tabel V.6. Golongan Obat yang Direkomendasikan………………………………. 36
Tabel V.7. Distribusi Informasi Obat yang Diberikan oleh Petugas Apotek……...   37
Tabel V.8. Distribusi Pemberian Keterangan Informasi Dosis oleh Petugas Apotek
                 ………………………………………………………………………….   38
Tabel V.9. Distribusi Informasi Non Obat yang Diberikan oleh Petugas Apotek
                 ………………………………………………………………………….   39


           














DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian............................................................ 18
Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian........................................................... 29
Gambar 4.2 Kerangka Operasional Pengumpulan Data............................................. 30
Gambar 5.1 Persentase Apotek Sampel Terkait Patient Assessment.......................... 32
Gambar 5.2 Mekanisme Kerja Obat yang Direkomendasikan................................... 36
Gambar 5.3 Persentase Apotek Sampel Terkait Pemberian Informasi Obat.............. 37
Gambar 5.4 Persentase Apotek Sampel Terkait Pemberian Informasi Non Obat...... 39























DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Check List………………………………………………………….    51
Lampiran 2. Daftar Apotek Sampel………………………………………………... 54
....................









BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Makna pembangunan kesehatan dipertegas dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) Tahun 2005-2025 salah satunya adalah melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu. Upaya kesehatan yang bermutu diselenggarakan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Pembinaan upaya kesehatan ditujukan untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat harus berkualitas, terjamin keamanannya bagi penerima dan pemberi upaya, dapat diterima masyarakat, efektif, dan sesuai, serta mampu menghadapi tantangan globalisasi. Salah satu bentuk pelayanan kesehatan adalah pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan secara rasional, aman, dan bermutu di semua sarana pelayanan kesehatan dengan mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan (Depkes RI, 2009).
Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian saat ini telah berpindah orientasinya, yang semula berorientasi pada produk obat bergeser orientasi ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical care (Depkes RI, 2004). Pharmaceutical care (asuhan kefarmasian) sangat penting dalam menciptakan dan meningkatkan profesionalisme pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian tidak hanya berorientasi ke produk obat, namun juga pelayanan informasi terkait obat juga harus tersampaikan supaya masyarakat paham bagaimana menggunakan obat sesuai aturan dan tata cara yang tepat sehingga obat bisa mencapai efek terapi secara optimal.
Salah satu sarana pelayanan kefarmasian di masyarakat adalah apotek. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Pemerintah RI, 2009). Pelayanan kefarmasian di apotek mencakup pelayanan resep dan tanpa resep.
Pelayanan tanpa resep/swamedikasi yaitu pelayanan terhadap pasien atau klien yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu produk obat tertentu tanpa resep dari dokter. Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009). Keuntungan swamedikasi antara lain efisien waktu karena pasien tidak perlu pergi ke dokter terlebih dahulu dan juga pasien dapat langsung memilih obat yang sesuai dengan yang diharapkan. Kerugiannya, jika klien datang langsung ke apotek dengan meminta suatu produk tertentu, kemungkinan bisa terjadi kesalahan terapi.
Pemberian informasi pada pelayanan resep maupun tanpa resep merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan di apotek. Dalam penyampaian informasi tersebut, petugas apotek harus bisa memberikan informasi kepada klien dengan memperhatikan dengan siapa petugas apotek berinteraksi, sehingga nantinya informasi tersebut dapat diterima oleh klien secara mudah (menggunakan bahasa orang awam). Sebelum memberikan rekomendasi maupun informasi ke klien, sebaiknya petugas apotek menggali dahulu informasi tentang pasien supaya penyampaian informasi dapat tepat sasaran dan tidak terjadi salah paham atau salah keputusan. Informasi yang diberikan petugas apotek ke klien itu tidak selalu  informasi tentang obat, dapat juga petugas apotek memberikan informasi non obat dan juga bisa memberikan suatu rujukan (Chua, 2006). Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini (Depkes RI, 2006).
Dalam penelitian ini, dilakukan pengamatan pelayanan kefarmasian tanpa resep dengan kasus diare pada lanjut usia di apotek wilayah Surabaya. Pertimbangannya adalah diare merupakan keluhan yang sudah sering kali terjadi pada masyarakat Indonesia. Diare merupakan penyebab kematian urutan ke-13 di Indonesia menurut data tahun 2007 (Depkes RI, 2009). Sedangkan digunakan simulasi pasien lanjut usia karena pada orang yang sudah lanjut usia kemampuan jaringan tubuh untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya akan perlahan-lahan menurun sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Wijayanti, 2008). Oleh karena itu, pada pasien diare lanjut usia perlu penanganan khusus dalam pemberian obat maupun terapi non obat, sehingga diharapkan peneliti mendapatkan patient assessment, rekomendasi, dan informasi yang spesifik dari petugas apotek.

1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana profil patient assessment yang dilakukan oleh petugas apotek terhadap pasien diare pada lanjut usia ?
2. Bagaimana profil rekomendasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien diare pada lanjut usia ?
3. Bagaimana profil informasi terkait obat dan non obat yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien diare pada lanjut usia ?

1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui profil patient assessment yang dilakukan petugas apotek terhadap klien yang datang dengan keluhan diare pada lanjut usia.
2. Mengetahui profil rekomendasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap klien yang datang dengan keluhan diare pada lanjut usia.
3. Mengetahui profil informasi terkait obat dan non obat yang diberikan oleh petugas apotek terhadap klien yang datang dengan keluhan diare pada  lanjut usia.
1.4. Manfaat Penelitian
1.  Memberikan masukan kepada apoteker agar bisa meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, khususnya pelayanan kefarmasian tanpa resep.  
2. Hasil data dari penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai bahan referensi untuk dilakukannya penelitian yang lebih lanjut terutama pelayanan kefarmasian tanpa resep.

























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Apoteker dan Tenaga Kefarmasian
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Depkes RI, 2004). Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Sedangkan yang dimaksud tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Pemerintah RI, 2009).

2.2. Tinjauan Tentang Apotek dan Pharmaceutical Care
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Pemerintah RI, 2009). Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional (Depkes RI, 2006). Dalam melakukan profesinya, apoteker mengacu pada Pharmaceutical care. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Berdasarkan filosofi Pharmaceutical care, apoteker memiliki tanggung jawab antara lain (Cipolle, 1998) :
  1. Menjamin terapi obat pada pasien indikasinya sudah tepat, efektif, dan aman.
  2. Mengidentifikasi, menyelesaikan, dan mencegah masalah terapi obat.
  3. Menjamin tercapainya tujuan terapi dan hasil yang optimal pada pasien.


2.3. Tinjauan Tentang Pelayanan Obat Tanpa Resep
2.3.1. Definisi Pelayanan Obat Tanpa Resep
Pelayanan obat tanpa resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi (Purwanti, 2004). Swamedikasi adalah mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009). Dengan kata lain, pasien datang dengan keluhan gejala atau meminta suatu produk tanpa resep dari dokter.
Obat-obat yang dapat digunakan untuk swamedikasi/tanpa resep meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT), dan obat bebas (OB) (Purwanti, 2004).

2.3.2 Tahapan Pelayanan Obat Tanpa Resep
Tahapan pelayanan obat tanpa resep meliputi patient assessment, penentuan rekomendasi, dan pemberian informasi obat maupun non obat.
2.3.2.1. Patient Assessment
Patient assessment penting untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Kemungkinan pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient, What are the symptos, How long have the symptoms been present, Action taken, Medication being taken), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset, With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp, 2002). Patient assessment dalam penelitian ini merujuk ke tipe WWHAM.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker selama konseling yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat untuk siapa, umur pasien, penyebab sakit, durasi sakit, lokasi sakit, gejala sakit, pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan, alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan apakah sudah ke dokter (Chua, 2006).

2.3.2.2. Rekomendasi
Apoteker bisa merekomendasikan suatu obat untuk meringankan gejala sakitnya dengan mencoba menentukan penyebab sakitnya sehingga dapat mencegah terjadinya sakit kembali dan juga bisa menyarankan pada perubahan pola hidup/non farmakologi yang penting dalam mengatasi sakitnya. Apoteker menyarankan pasien pergi ke dokter jika pasien tersebut kondisinya berat atau parah (Chua, 2006).
Pada kasus diare, rujukan ke dokter diperlukan jika (Dipiro, 2008):
  1. Nyeri perut yang hebat dan kram.
  2. Feses berdarah.
  3. Dehidrasi (haus, mulut kering, lemas, urin berwarna pekat, jarang kencing, penurunan jumlah urin, kulit kering, nadi yang cepat, nafas cepat, kram otot, otot lemah).
  4. Demam tinggi (lebih dari 38°C)
  5. Penurunan berat badan lebih dari 5 % dari total berat badan.
  6. Bila diare lebih dari 48 jam.

2.3.2.3. Informasi Obat & Non Obat
a.  Informasi Obat
Pemberian informasi adalah untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan/medication error (Pemerintah RI, 2009). Informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain (Depkes RI, 2006) :
  1. Khasiat obat: apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
  2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontraindikasi dimaksud.
  3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
  4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
  5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
  6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
  7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.
  8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.
  9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
  10. Cara penyimpanan obat yang baik.
  11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
  12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.

b. Informasi Non Obat
Informasi non obat yang perlu disampaikan apoteker kepada pasien diare antara lain (Depkes, 2006) :
  1. Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alcohol, kopi/teh, dan susu.
  2. Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur, roti, pisang) selama 1-2 hari.
  3. Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam.
  4. Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan (diare karena infeksi bakteri/virus bisa menular).
  5. Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa, dan tikus.
  6. Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa makanan di dalam kulkas.
  7. Gunakan air bersih untuk memasak.
  8. Air minum harus direbus terlebih dahulu.
  9. Buang air besar pada jamban.
  10. Jaga kebersihan lingkungan.
  11. Bila diare berlanjut lebih dari dua hari, bila terjadi dehidrasi, kotoran berdarah, atau terus-menerus kejang perut periksakan ke dokter.

2.4. Tinjauan Tentang Diare
2.4.1. Definisi Diare
Diare dapat didefinisikan sebagai perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Dikatakan diare bila feses lebih berair dari biasanya. Diare dapat juga didefinisikan bila buang air besar 3 kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2009). Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar yaitu karena infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan penyebab lain, tetapi yang sering ditemukan dilapangan/klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan (Depkes RI, 2002).

2.4.2. Diare Akut dan Diare Kronik
Diare dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronis. Diare akut adalah diare yang terjadi selama 14 hari atau kurang. Gejala dan tanda-tanda diare akut adalah konsistensi encer dan berair yang menyerang secara mendadak, nyeri perut, keadaan mendesak ingin buang air besar, mual, perut kembung, dan demam. Pasien dengan infeksi diare akut bisa terjadi buang air besar berdarah dan nyeri perut. Sedangkan diare kronik adalah diare yang terjadi lebih dari 30 hari. Diare kronik mempunyai tanda-tanda dan gejala yaitu gejala bisa hebat atau ringan, penurunan berat badan dapat dilihat dan tubuh terasa lemas. Dehidrasi bisa diketahui dari penurunan jumlah urin, urin pekat, membran mukus yang kering, cepat haus, dan takikardi (Dipiro, 2008).

2.4.3. Penyebab Diare
Ada banyak kemungkinan penyebab diare akut, tetapi infeksi adalah penyebab yang paling umum. Infeksi diare terjadi karena kontaminasi makanan dan air. Virus adalah penyebab yang paling besar, yaitu rotavirus, norwalk, dan adenovirus. Pasien secara tiba-tiba demam, muntah, dan feses yang berair. Bakteri juga merupakan salah satu infeksi diare yaitu Escherichia coli, Salmonella sp., Shigella sp., Vibrio cholera, dan Clostridium difficile. Protozoa juga merupakan salah satu infeksi diare seperti Entamoeba histolytica, Microsporidium, Giardia lamblia, dan Cryptosporidium parvum. Penyebab selain infeksi dari diare akut terdiri dari obat dan racun, efek samping laksatif, makanan, irritable bowel syndrome, radang perut, kekurangan laktase, Whipple’s disease, anemia, diabetes mellitus, malabsorbsi, fecal impaction, diverticulosis, dan celiac sprue. Obat-obat yang dapat menyebabkan diare akut adalah antibiotik, kolsikin, digitalis, hidralazin, laksatif, mannitol, metformin, misoprostol, quinidin, sorbitol, dan teofilin. Suplemen makanan yang bisa menyebabkan diare akut yaitu Echinacea, ginseng, dan aloe vera. Bahan (racun) yang menyebabkan diare adalah arsen, cadmium, dan merkuri (Dipiro, 2008).
Obat-obat yang dapat menyebabkan diare dapat terjadi oleh beberapa mekanisme. Pertama, air dapat masuk ke dalam lumen usus secara osmotik. Saline laxatives adalah contoh obat yang dapat meningkatkan masuknya air ke dalam lumen usus secara osmotik. Kedua, ekosistem bakteri usus dapat mengganggu yaitu munculnya serangan organisme sehingga memicu proses sekresi dan peradangan. Aktivitas beberapa antibiotik dapat menyebabkan mekanisme ini. Ketiga adalah perubahan motilitas bisa terjadi dengan tegaserod maleat. Obat lain seperti prokainamid atau kolsikin menyebabkan diare yang mekanismenya belum diketahui (Dipiro, 2008)
Kebanyakan kasus diare kronik disebabkan dari radang perut, gangguan endokrin, malabsorbsi, dan obat-obatan (laksatif). Dalam diare kronik, buang air besar dengan konsistensi berair tidak terjadi. Diare bisa terjadi sebentar atau terus-menerus (Dipiro, 2008).

2.4.4. Klasifikasi Diare
Selama proses normal, kira-kira sembilan liter cairan melewati gastrointestinal dalam sehari. Cairan perut dua liter, saliva satu liter, cairan empedu satu liter, cairan pankreas dua liter, sekresi intestinal satu liter, dan cairan pencernaan dua liter. Dari sembilan liter cairan tersebut, hanya sekitar 150-200 mL yang tersisa setelah proses reabsorbsi terjadi (Dipiro, 2008).
 Terjadinya peningkatan jumlah cairan dalam feses menyebabkan diare. Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme patofisiologi yang mencakup osmotik, sekresi, inflamasi, dan perubahan motilitas (Dipiro, 2008).
Diare osmotik akibat dari tidak diabsorbsinya cairan di dalam usus ke dalam penyimpanan cairan. Biasanya kasus terjadi karena gangguan laktose dan proses pencernaan dari antasida yang berisi magnesium (Dipiro, 2008).
Diare secretory akibat peningkatan sekresi ion ke dalam lumen usus sehingga menaikkan cairan intraluminal. Obat, hormon, dan racun bertanggung jawab selama terjadi aktivitas sekresi (Dipiro, 2008).
Diare inflamasi akibat dari perubahan mukosa usus yang mengganggu proses absorbsi dan terjadi peningkatan protein dan produk lain di dalam lumen usus dalam penyimpanan cairan. Adanya pendarahan atau adanya leukosit di dalam feses mengindikasikan proses peradangan. Diare dari radang perut (contohnya ulcerative colitis) adalah radang secara alami (Dipiro, 2008).
Peningkatan motilitas diakibatkan penurunan kontak antara makanan dan minuman dengan mukosa intestinal, menyebabkan penurunan reabsorbsi dan peningkatan cairan feses. Irritable Bowel Syndrome menyebabkan perubahan motilitas (Dipiro, 2008).
2.4.5. Kondisi Pasien Diare Yang Perlu Dirujuk
Pasien sebaiknya dirujuk ke dokter bila keadaannya (Dipiro, 2008):
Nyeri perut yang hebat dan kram.
  1. Feses berdarah.
  2. Dehidrasi (haus, mulut kering, lemas, urin berwarna pekat, jarang kencing, penurunan jumlah urin, kulit kering, nadi yang cepat, nafas cepat, kram otot, otot lemah).
  3. Demam tinggi (lebih dari 38°C)
  4. Penurunan berat badan lebih dari 5 % dari total berat badan.
  5. Bila diare lebih dari 48 jam.

2.4.6. Terapi Farmakologi
Menurut Dipiro (2008), terapi farmakologi pada diare terdiri dari adsorben, anti peristaltik/anti motilitas, anti secretory, probiotik, dan anti infeksi.
2.4.6.1. Adsorben
Attapulgit mengadsorbsi cairan dalam feses. Kalsium polikarbofil adalah sebuah resin hidrofilik poliakrilat yang juga bekerja sebagai adsorben, mengikat air sekitar 60 kali beratnya dan membentuk gel yang memperkeras bentuk feses. Kedua produk efektif dalam menurunkan cairan feses tetapi dapat juga mengadsorbsi nutrien dan obat lain. Pemakaiannya sebaiknya dipisahkan dengan obat lain 2-3 jam. Psyllium dan metil selulosa juga digunakan untuk mengurangi cairan feses (Dipiro, 2008). Contoh produk : Atagip®, Neo Entrostop®, New Diatabs®, dan lain-lain (ISFI, 2008).

2.4.6.2. Anti peristalik/anti motilitas
Obat anti peristaltik memperpanjang waktu transit di usus. Obat dalam kategori ini adalah loperamid HCl dan difenoksilat HCl dengan atropin sulfat. Atropin hanya digunakan sebagai pencegahan. Pada dosis besar, efek antikolinergik dari atropin meniadakan efek euphoria dari difenoksilat. Loperamid dan difenoksilat efektif dalam menyembuhkan gejala diare akut non infeksi dan aman untuk pasien diare kronik (Dipiro, 2008). Loperamid tidak diijinkan pada penggunaan tanpa resep pada anak-anak di bawah 12 tahun (Nathan, 2002). Morfin dan kodein dapat menurunkan motilitas dari GI tract (Blenkinsopp, 2002). Contoh produk : Antidia®, Diaramid®, Gradilex®, dan lain-lain (ISFI, 2008).

2.4.6.3. Anti secretory
Bismuth subsalisilat mempunyai efek anti secretory dan anti mikroba dan digunakan untuk pengobatan diare akut. Sebagian salisilat diabsorbsi di dalam perut dan usus kecil. Karena alasan ini, bismuth subsalisilat tidak diberikan untuk orang yang alergi dengan salisilat, contohnya aspirin. Pasien yang memakai bismuth subsalisilat sebaiknya diinformasikan bahwa fesesnya akan berubah menjadi hitam. Octreotid adalah anti secretory yang digunakan selama diare berat yang  disebabkan oleh kemoterapi kanker, HIV, diabetes, gangguan lambung, dan tumor gastrointestinal. Octreotid digunakan dalam bentuk injeksi subkutan atau intravena bolus dengan dosis 500 mcg 3 kali sehari (Dipiro, 2008). Contoh produk: New Sybarin®, Neo Adiar®, Diaryn®, dan lain-lain (ISFI, 2008).

2.4.6.4. Probiotik
Probiotik adalah suplemen makanan berisi bakteri yang meningkatkan mikroflora normal dari saluran gastrointestinal. Probiotik dapat merangsang respon imun dan menekan respon peradangan. Yogurt dapat meringankan diare. Yogurt meningkatkan pencernaan laktose karena bakteri yang digunakan untuk membuat yogurt memproduksi laktase dan mencerna laktose sebelum mencapai usus besar. Lactobacillus acidophilus dalam yogurt, keju, dan susu acidophilus meningkatkan pencernaan laktose dan mencegah/menyembuhkan diare. Walaupun laktase bukan probiotik, tablet laktase juga digunakan untuk mencegah diare (Dipiro, 2008).

2.4.6.5. Anti infeksi
Kebanyakan kasus diare traveler’s berasal dari infeksi dari enterotoksigenik (ETEC) atau enteropatogenik (EPEC) Escherichia coli. Pemilihan antibiotik yang tepat mencakup fluoroquinolon seperti siprofloksasin dan levofloksasin. Azitromisin bisa menjadi kemungkinan pilihan saat fluoroquinolon bersifat resisten. Penggunaan antibiotik secara terus-menerus bisa menyebabkan resisten. Pengobatan sebaiknya mempertimbangkan infeksi diare akut yang disebabkan bukan dari rumah sakit seperti Shigatoksin, hasil dari Eschericia coli (STEC), Campylobacter, Salmonella, dan Shigella menyebabkan demam yang hebat, tenesmus, dan feses berdarah (Dipiro, 2008). Contoh produk : Dialet®, Neo Prodiar®, dan lain-lain (ISFI, 2008).

2.4.7. Terapi Non Farmakologi
Menurut Dipiro (2008), terapi non farmakologi pada diare terdiri dari pemberian cairan/elektrolit dan pengubahan pola makan.
2.4.7.1. Cairan dan elektrolit
Penggantian cairan bukan sebuah pengobatan untuk penyembuhan diare tetapi suatu usaha untuk menyeimbangkan cairan tubuh. Diare yang sering dan hebat, penggantian cairan dilakukan dengan menggunakan Oral Rehydration Solution (ORS), yaitu campuran air, gula, dan garam. WHO memperkenalkan larutan yang terdiri dari 75 mEq/L natrium, 75 mmol/L glukosa, 65 mEq/L klorida, 20 mEq/L potassium, dan 10 mEq/L sitrat, yang totalnya 245 mOsm/L. Secara sederhana dapat dibuat dari 1 liter air dicampur dengan 8 sendok teh gula dan 1 sendok teh garam. Contoh produk di pasaran adalah Pedialyte®, Rehydralyte®, dan Ceralyte®. Pasien dengan diare yang tidak terjadi dehidrasi mengganti cairan dengan minum jahe, teh, jus buah, air kaldu, atau sup. Penggunaan minuman olah raga untuk dehidrasi perlu perhatian khusus karena jumlah elektrolitnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Diare yang hebat membutuhkan larutan parenteral seperti larutan Ringer Laktat atau normal salin untuk mengganti cairan yang hilang (Dipiro, 2008).

2.4.7.2. Pengubahan pola makan
Pada pasien diare akut biasanya nafsu makan berkurang. Makanan memberi nutrisi dan cairan yang membantu mengganti asupan makanan yang hilang. Asupan makanan tidak cukup untuk mengganti yang hilang selama diare. Beberapa makanan tidak tepat diberikan jika sifatnya mengiritasi saluran gastrointestinal atau jika makanan itu adalah penyebab diare. Pasien dengan diare kronik bisa makan seperti nasi, pisang, dan gandum (Dipiro, 2008).
2.5. Tinjauan Tentang Lanjut Usia
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Dipiro (2008), pasien lanjut usia dan bayi (kurang dari 1 tahun) sangat beresiko mengalami dehidrasi pada saat diare. Pada orang yang sudah lanjut usia kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya akan perlahan-lahan menurun sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Wijayanti, 2008).

2.6. Tinjauan Tentang Obat
2.6.1. Definisi Obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Pemerintah RI, 2009).

2.6.2. Penggolongan Obat
Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu (Depkes RI, 2006) :
1.      Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh obat diare : kaolin, pektin, attapulgit.
2.      Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
P1 Awas obat keras : baca aturan pakai
P2 Awas obat keras : obat kumur jangan ditelan
P3 Awas obat keras : untuk pemakaian luar
P4 Awas obat keras : hanya untuk dihisap
P5 Awas obat keras : obat luar tidak boleh ditelan
P6 Awas obat keras : obat wasir jangan ditelan
Contoh obat diare : bismuth subsalisilat.
3.      Obat Keras dan Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh obat diare : loperamid HCl.
Obat psikotropika adalah obat keras alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
4.      Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Contoh obat diare : morfin dan codein
Berdasarkan nama, obat dibagi menjadi 2 yaitu obat generik dan obat dagang. Obat generik adalah obat jadi dengan nama generik yang diproduksi oleh industri farmasi yang telah menerapkan cara produksi obat yang baik (CPOB) yang dibutuhkan dengan sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan dipasarkan dengan nama bahan aktifnya.. Obat dagang adalah obat yang beredar di pasaran menggunakan nama dagang masing-masing produsennya (Purwadi, 2004).

2.7. Tinjauan Tentang Metode Simulasi Pasien
Penggunaan simulasi pasien untuk mempraktekkan secara umum atau untuk memperoleh hasil yang ingin diukur selama melakukan penelitian kefarmasian. Simulasi pasien adalah individu yang terlatih mengunjungi sebuah sarana farmasi untuk melakukan skenario untuk mengetahui kelakuan yang spesifik dari apoteker atau petugas apotek (Watson, 2006).
Peneliti yang memilih penggunaan teknik ini sebaiknya menggunakan metode yang tepat untuk menjamin memperoleh data yang tepat, reliabel, dan valid. Penulisan check list adalah metode pengumpulan data yang paling banyak digunakan dalam simulasi pasien. Alat perekam digunakan untuk merekam komentar dan tanggapan sebagai pelengkap dari kunjungan ke apotek (Watson, 2006).
Simulasi pasien harus dapat dipercaya. Penggunaan simulasi pasien dalam penelitian praktek kefarmasian adalah metode yang efektif yang sulit dicapai dengan metode yang lain. Penggunaan simulasi pasien dapat memperoleh hasil yang berkualitas tinggi, misalnya dengan menyajikan informasi tambahan ke dalam presentasi dan desain pebelajaran. Reliabilitas dari simulasi pasien meningkat jika jumlah yang dikunjungi juga meningkat (Watson, 2006).
Kelebihan metode simulasi pasien adalah (Watson, 2006):
1.      Metode ini dapat digunakan untuk menilai manajemen dari penyakit ringan dan berat, efek dari pengubahan perilaku petugas apotek, dan praktek kefarmasian jaman sekarang.
2.      Walaupun penggunaan simulasi pasien perlu perhatian khusus dalam menjalankannya, simulasi pasien merupakan metode yang teliti dan tepat untuk pengukuran jika digunakan sewajarnya.
Kekurangan metode simulasi pasien adalah petugas apotek bisa mengubah perilakunya jika simulasi pasien yang dijalankan dicurigai/diketahui (Watson, 2006).








BAB III
Kerangka Konseptual
Informasi Non Obat

 


 


Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu (Singarimbun, 1989). Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi yang seteliti mungkin tentang pelayanan kefarmasian tanpa resep di apotek wilayah Surabaya dengan kasus diare pada lanjut usia.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah apotek-apotek di wilayah Surabaya dan waktu pengambilan data di lapangan antara bulan Maret 2011-April 2011.

4.3. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Yang dimaksudkan populasi dalam penelitian ini adalah apotek di seluruh wilayah Surabaya. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilaksanakan peneliti pada bulan Februari 2011 jumlah apotek di Surabaya adalah 629 apotek. 

4.4. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini populasi yang digunakan cukup besar yaitu seluruh apotek di wilayah Surabaya. Jika diadakan pengamatan seluruh apotek di wilayah Surabaya akan terkendala waktu yang panjang, dana yang banyak, dan juga tenaga. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, maka digunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut dengan metode tertentu, sehingga kesimpulan yang didapat berlaku untuk populasi.

4.4.1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi sampel penelitian adalah apotek-apotek di seluruh wilayah Surabaya. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu apotek yang berada di bawah naungan rumah sakit dan klinik kecantikan.

4.4.2. Besar Sampel
Menurut Notoatmodjo (2005), besar sampel penelitian dihitung menggunakan rumus dengan populasi yang diketahui yaitu :   
                        d = Z x  x
Keterangan : 
 n = jumlah sampel
Z = standar deviasi normal, biasanya ditentukan pada 1,95 atau 2,0 yang sesuai dengan derajat kemaknaan 95%
 p = proporsi untuk sifat tertentu yang diperkirakan terjadi pada populasi. Apabila tidak diketahui proporsi atau sifat tertentu tersebut, maka p = 0,5
                              q = 1 - p
                              d = penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketepatan yang diinginkan, biasanya 0,05 atau 0,1
            N = besarnya populasi
Jika diketahui N = 629; Z = 2,0; p = 0,5; q = 0,5; dan d = 0,1 maka akan didapatkan jumlah sampel sebanyak 86,4 apotek atau dibulatkan menjadi 90 apotek.
                                        
4.4.3. Teknik Sampling
Dalam penentuan sampel, digunakan simple random sampling. Simple random sampling adalah cara pengambilan sampel dari semua anggota populasi yang dilakukan secara acak atau tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi itu (Sugiyono, 2001). Dasar memilih teknik ini karena anggota populasi dianggap sama/homogen. Homogen di sini maksudnya adalah tidak ada kriteria-kriteria tertentu untuk digunakan sampel, sebab tujuan penelitian ini untuk mengetahui profil pelayanan kefarmasian di apotek tanpa mempertimbangkan apotek itu besar atau kecil, terkenal atau tidak, tempatnya dimana, dan yang memberi informasi apoteker atau bukan. Sarana acak yang digunakan dalam penentuan sampel adalah menggunakan Microsoft Excel, yaitu dengan membuat kode apotek dengan menggunakan angka kemudian memasukkan rumus random dalam Microsoft Excel sehingga didapatkan angka-angka acak sebanyak 90 buah.

4.5. Sumber Data
Sumber data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pengamatan di lapangan. Sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung yang memberikan keterangan tambahan atau keterangan pendukung data primer (Wibisono, 2009). Dalam penelitian ini sumber data bersifat primer karena diperoleh jumlah apotek seluruh Surabaya dengan survei pendahuluan yang dilakukan oleh tim peneliti dan juga data penelitian diperoleh dari pengamatan langsung pelayanan kefarmasian di apotek wilayah Surabaya.

4.6. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau aspek dari orang maupun objek yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2001). Variabel pada penelitian ini meliputi patient assessment, rekomendasi, dan informasi obat maupun non obat (Tabel IV.1.)

Tabel IV.1. Variabel Penelitian
Variabel
Indikator
Patient assessment
  1. Siapa penderitanya
  2. Berapa usianya
  3. Gejalanya apa
  4. Berapa lama gejala
  5. Tindakan yang sudah dilakukan
Lanjutan Tabel IV.1
Variabel
Indikator

  1. Pengobatan lain yang sedang digunakan
Rekomendasi
  1. Rujukan
  2. Obat
  3. Non obat
Informasi obat
  1. Indikasi
  2. Kontraindikasi
  3. Efek samping
  4. Cara pemakaian
  5. Dosis
  6. Waktu pemakaian
  7. Lama pemakaian
  8. Perhatian
  9. Jika lupa minum obat
  10. Cara penyimpanan
  11. Cara perlakuan sisa obat
  12. Identifikasi obat yang rusak
Informasi non obat
  1. Pengaturan makanan
  2. Intake cairan
  3. Pola hidup

4.7.   Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti (Sugiyono, 2001). Instrumen dalam penelitian ini adalah skenario dan check list. Sebelum melakukan simulasi pasien di apotek, peneliti harus sudah menyiapkan dahulu skenario yang digunakan dan lembar check list yang berisi poin-poin yang ingin didapatkan sebagai data pengamatan.
4.7.1.  Skenario
Skenario merupakan persiapan dari simulasi pasien yang berisi semua yang berkaitan dengan data dan informasi terkait pasien, serta hal-hal yang harus dilakukan pada saat simulasi pasien untuk memperlancar jalannya pengamatan. Skenario harus disiapkan dengan tujuan :
  1. Menghindari kecurigaan dari petugas apotek terhadap simulasi pasien yang dijalankan.
  2. Menyiapkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang tidak diduga dari petugas apotek sehingga pengamatan bisa berjalan dengn baik.
  3. Menjaga kondisi dalam melakukan simulasi pasien sehingga pengamatan bisa optimal.
Skenario yang digunakan dalam penelitian ini :
1.   Peneliti datang ke apotek untuk membeli obat diare (“Beli obat diare”).
2.   Jika petugas apotek melakukan patient assessment, maka skenario yang digunakan peneliti adalah :
Pasien : Sunyoto
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 71 tahun
Hubungan dengan peneliti  : Kakek
Alamat : Jln. Jojoran 3 Gang 5 No. 47
Pekerjaan  : Pensiunan polisi
Riwayat penyakit : Tidak ada
Gejala yang dikeluhkan : Buang air besar 5x sehari, konsistensi lembek.
Keluhan nyeri perut : Tidak ada
Keluhan perut kembung/mual/muntah : Tidak ada
Lama gejala yang dialami sampai sekarang : 1 hari
Tindakan yang sudah diperbuat : Belum ada
Obat  lain yang sedang digunakan : Tidak ada
Alergi terhadap obat : Tidak ada
Kebiasaan : Merokok, tidak suka makanan pedas.
Makanan yang dikonsumsi kemarin : Makan rujak pedas.
Alasan ke apotek : Sedang lewat daerah tersebut dari rumah teman.
3.   Jika tidak ada informasi obat yang diberikan maka peneliti bertanya : “Berapa banyak obat yang diminum ?”
4.   Pencatatan dilakukan di luar apotek tanpa sepengetahuan petugas apotek.
4.7.2.  Check list
Check list adalah suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala/identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2005). Isi lembar check list adalah patient assessment, rekomendasi, dan informasi terkait obat maupun non obat sebagai pelayanan yang diberikan petugas apotek kepada klien diare pada lanjut usia. Lembar check list ini dilengkapi oleh peneliti di luar apotek setelah mengunjungi apotek sampel.
Sebagai instrumen pengumpulan data, check list mempunyai keuntungan dan kekurangan.
Keuntungan menggunakan metode check list :
1.        Mempermudah dalam mengingat apa yang diberikan petugas apotek terkait patient assessment, rekomendasi, dan informasi obat maupun non obat.
2.        Mempermudah dalam mengolah data.
3.        Efektif waktu, karena cukup memberikan tanda dan tidak perlu menulis apa yang dikatakan petugas apotek.
4.        Data menjadi teratur dan terskema dengan baik.
Kekurangan menggunakan metode check list :
1.      Tidak bisa mencantumkan informasi lain selain patient assessment, rekomendasi, dan informasi obat/ non obat yang dilakukan petugas apotek.
2.      Peneliti harus membuat kesimpulan apa yang telah dikatakan oleh petugas apotek.
3.      Bisa terjadi salah persepsi.
Kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi dengan :
Peneliti harus benar-benar konsentrasi penuh untuk memahami apa yang dikatakan petugas apotek dan menggunakan alat perekam selama tidak melanggar etik.

4.8. Definisi Operasional
Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian.
  1. Apotek merupakan salah satu tempat praktek profesi apoteker yang melayani pasien swamedikasi.
  2. Pelayanan tanpa resep adalah pelayanan yang diberikan petugas apotek kepada klien yang datang tanpa membawa resep atau ingin melakukan pengobatan sendiri.
  3. Petugas apotek merupakan orang yang memberikan pelayanan di apotek kepada klien terkait keluhan gejala diare pada lanjut usia.
  4. Patient assessment adalah pertanyaan yang digunakan petugas apotek terhadap klien untuk menggali informasi terkait pasien diare pada lanjut usia. Patient assessment disini meliputi siapa yang sakit diare, berapa usia pasien diare, apa gejala yang dialami pasien diare, berapa lama mengalami gejala diare, apa tindakan yang sudah diperbuat untuk mengatasi gejala diare, dan apa obat-obat lain yang sedang digunakan.
  5. Rekomendasi meliputi rujukan atau saran yang diajukan petugas apotek terhadap pasien diare lanjut usia terkait obat sebagai tindak lanjut dari keluhan-keluhan gejala yang dialami pasien diare. Rekomendasi dapat berupa saran untuk menggunakan/memilih obat-obat tertentu dan dapat berupa rujukan lebih lanjut, misalnya dokter, rumah sakit, Puskesmas, dan sarana kesehatan lain.
  6. Informasi obat adalah informasi yang diberikan oleh petugas apotek kepada klien diare lanjut usia tentang obat yang terpilih (indikasi, kontraindikasi, efek samping obat, cara pemakaian, dosis, waktu pemakaian, lama pemakaian, perhatian, jika lupa minum obat, cara penyimpanan, cara perlakuan sisa obat, identifikasi obat yang rusak).
  7. Indikasi adalah terapi suatu obat yang dianjurkan pemakaiannya.
  8. Kontraindikasi adalah keadaan-keadaan yang sebaiknya dihindari untuk pemakaian obat diare pada pasien lanjut usia.
  9. Efek samping adalah efek yang tidak dikehendaki yang muncul dari pemakaian obat diare pada pasien lanjut usia.
  10. Cara pemakaian adalah cara yang dianjurkan terhadap pemakaian suatu obat diare lanjut usia.
  11. Dosis adalah takaran dan frekuensi pemakaian suatu obat diare.
  12. Waktu pemakaian adalah waktu yang dianjurkan petugas apotek untuk menggunakan obat diare pada pasien lanjut usia.
  13. Lama pemakaian maksudnya lamanya penggunaan obat diare yang dianjurkan petugas apotek di apotek.
  14. Perhatian adalah penjelasan dan peringatan yang perlu diperhatikan.
  15. Lupa minum obat adalah penjelasan petugas apotek tentang tindakan jika terjadi kelupaan saat minum obat diare.
  16. Cara penyimpanan adalah tentang menyimpan obat yang baik dan benar sehingga stabilitas tetap terjaga.
  17. Cara perlakuan sisa obat adalah penjelasan tentang cara memperlakukan sisa obat yang telah digunakan.
  18. Identifikasi obat rusak adalah pengenalan karakteristik obat diare yang telah rusak atau berubah sifat.
  19. Informasi non obat adalah informasi yang diberikan oleh petugas apotek kepada klien diare lanjut usia terkait terapi non obat (makanan, asupan cairan, pola hidup, dan lain-lain).
  20. Makanan meliputi penjelasan tentang keteraturan waktu makan serta makanan yang dianjurkan dan dijauhi pasien diare.
  21. Intake cairan meliputi pemberian atau penggantian cairan tubuh yang hilang akibat dehidrasi.
  22. Pola hidup meliputi kebiasaan-kebiasaan yang harus diubah sebagai upaya penyembuhan maupun pencegahan terjadinya diare pada lanjut usia.

4.9. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
4.9.1. Uji Validitas
Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur (Sugiyono, 2001).
Menurut Singarimbun, jenis validitas dibagi menjadi :
  1. Validitas konstruk (construct) adalah kerangka dari suatu konsep. Dengan diketahuinya kerangka tersebut, seorang peneliti dapat menyusun tolok ukur operasional konsep tersebut.
  2. Validitas isi adalah suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep.
  3. Validitas eksternal dipakai untuk mengetahui apakah alat pengukur tersebut memberikan hasil yang sama, maka hasil pengukuran dengan kedua alat tersebut harus dikorelasikan teknik statistik korelasi.
  4. Validitas prediktif adalah alat pengukur yang dibuat oleh peneliti seringkali dimaksudkan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
  5. Validitas budaya merupakan validitas yang penting bagi penelitian di negara yang suku bangsanya sangat bervariasi. Di dalam menyusun suatu alat pengukur, responden dari suku yang akan diteliti harus dipakai di dalam melakukan uji coba  alat ukur tersebut.
  6. Validitas rupa merupakan validitas yang tidak menunjukkan apakah alat pengukur mengukur apa yang ingin diukur. Validitas rupa hanya menunjukkan bahwa dari segi “rupanya” suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur. Bentuk dan penampilan suatu alat pengukur menetukan apakah alat ukur tersebut memiliki validitas atau tidak. Bentuk dan penampilan alat pengukur itu sendiri sudah meyakinkan kalau alat pengukur tersebut mengukur apa yang ingin diukur.
Dalam penelitian ini digunakan validitas rupa yang merupakan teknik penaksiran untuk mengecek kebenaran secara perasaan yang menggunakan pertimbangan dari persetujuan orang yang menilai sebagai sebuah prosedur, kalimat, atau instrumen yang terlihat/rupanya bisa disuarakan atau ada hubungannya. Validitas rupa meliputi validitas dengan asumsi (bukan penaksiran secara statistik dari ikatan logika antara elemen atau poin-poin dari sebuah instrumen dan tujuannya) dan validitas dengan definisi (ditentukan dengan satu atau lebih ahli bahwa elemen atau poin-poin dari instrumen yang menggambarkan dengan menaksirkan isinya). Validitas rupa bersifat tidak kuantitatif dan membutuhkan waktu yang panjang untuk menggunakan perasaan (Lynn, 1986). Validitas rupa adalah tes yang sangat subjektif yang dilakukan oleh 2 individu yang berbeda yang bisa mempunyai penilaian yang berbeda terhadap instrumen (Ruane, 2005).

4.9.2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel (Singarimbun, 1989).
Uji reliabilitas yang digunakan adalah dengan simulasi pasien yaitu peragaan dengan dosen pembimbing. Peneliti, dosen pembimbing 1 sebagai petugas apotek, dosen pembimbing 2 sebagai orang ketiga atau yang mengecek kesesuaian informasi yang diberikan petugas apotek dengan peneliti. Selain itu, uji reliabilitas juga dilakukan dengan mengunjungi apotek non sampel sesuai dengan skenario yang telah disiapkan. Tujuannya adalah melihat ulang dari penggunaan simulasi pasien sebagai alat metodologi selama praktek penelitian farmasi dan untuk mengidentifikasi pentingnya karakteristik yang sebaiknya dipertimbangkan untuk tetap menggunakan teknik ini (Watson, 2006).

4.10.Metode Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
  1. Peneliti datang ke apotek.
  2. Melakukan skenario yang telah disiapkan.
  3. Berkonsentrasi dan merekam dengan alat perekam apa yang diberikan petugas apotek terkait patient assessment, rekomendasi, dan informasi obat maupun non obat.
  4. Keluar apotek dan mengisi check list yang telah disiapkan.




4.10.1.  Kerangka Operasional Penelitian



Penyusunan Instrumen
Survei Pendahuluan


 



Pengujian Instrumen
Sampel
 



Pengumpulan Data




Pencatatan Data




Pengolahan Data






Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian
4.10.2.  Kerangka Operasional Pengumpulan Data


Peneliti datang ke apotek dengan gejala (membeli obat diare)









 






















Gambar 4.2 Kerangka Operasional Pengumpulan Data

4.11. Teknik Analisa Data
Pada penelitian ini digunakan statistik deskriptif yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum/generalisasi (Sugiyono, 2001). Pengolahan data menggunakan SPSS dengan penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, perhitungan angka, dan persentase.




























BAB V
HASIL PENELITIAN

Berdasarkan persetujuan etik yang ditentukan oleh Komisi Etika Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Airlangga Nomor 172/PANEC/LPPM/2011 kemudian melakukan pilot study pada lima apotek yang terpilih secara acak, maka dilakukan pengambilan data penelitian pada bulan Maret sampai dengan April 2011 yang dilakukan pada 90 apotek sampel secara random di wilayah Surabaya. Dalam pelaksanaan pengambilan data dari 90 apotek sampel tersebut ada beberapa apotek yang diganti dengan apotek baru yang didapatkan dari hasil sampling dari kelompok apotek cadangan penelitian disebabkan karena beberapa hal. Data hasil penelitian adalah sebagai berikut.

5.1. Patient Assessment
Gambar 5.1 menunjukkan persentase dari apotek sampel terkait pemberian patient assessment.
Gambar 5.1. Persentase Apotek Sampel Terkait Patient Assessment

Di bawah ini (Tabel V.1.) adalah tabel distribusi komponen patient assessment yang ditanyakan oleh petugas apotek.

Tabel V.1. Distribusi Komponen Patient Assessment yang Ditanyakan oleh Petugas Apotek
Indikator
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
Siapa yang sakit/mengalami gejala-gejala diare
30 (33,3)
60   (66,7)
Berapa usia yang sakit diare
10 (11,1)
80   (88,9)
Gejala :


Frekwensi BAB tidak normal
21 (23,3)
69   (76,7)
Nyeri perut
  0   (0,0)
90 (100,0)
Perut kembung/mual/muntah
  1   (1,1)
89   (98,9)
Konsistensi feses
  8   (8,9)
82   (91,1)
Gejala lain
  0   (0,0)
90 (100,0)
Berapa lama pasien diare mengalami sakit
  6   (6,7)
84   (93,3)
Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami gejala diare
  3   (3,3)
87   (96,7)
Apa obat-obat lain yang sedang digunakan
  3   (3,3)
87   (96,7)

5.2. Rekomendasi
Tabel V.2. di bawah ini adalah rekomendasi yang diberikan oleh petugas apotek.
Tabel V.2. Jenis Rekomendasi yang Diberikan
Rekomendasi
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
Berupa rujukan ke dokter
  0     (0,0)
90 (100,0)
Berupa rekomendasi obat
90 (100,0)
  0   (0,0)

Dari seluruh apotek yang merekomendasikan obat, klien dilibatkan dalam pemilihan obat di 11 apotek (12,2%).
Harga obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek terlihat pada Tabel V.3 berikut.
Tabel V.3. Rentang Harga Obat yang Direkomendasikan
Rentang Harga
n (%)
< Rp. 2.501,00
32 (35,6)
Rp. 2.501,00 – Rp. 5.000,00
16 (17,8)
Lanjutan Tabel V.3
Rentang Harga
n (%)
Rp. 5.001,00 – Rp. 7.500,00
27 (30,0)
Rp. 7.501,00 – Rp. 10.000,00
7 (7,8)
Rp. 10.001,00 – Rp. 12.500,00
2 (2,2)
Rp. 12.501,00 – Rp. 15.000,00
4 (4,5)
Rp. 15.001,00 – Rp. 17.500,00
0 (0,0)
>Rp. 17.500,00
1 (1,1)
Total
89 (98,9)*
*Di satu apotek obat yang direkomendasikan tidak tersedia

Tabel V.4 menampilkan jenis obat yang direkomendasikan petugas apotek yang telah dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerja dan kandungan bahan aktifnya.
Tabel V.4. Jenis Obat yang Direkomendasikan
Mekanisme kerja
Kandungan
bahan aktif
Nama Obat

n (%)
Adsorben
attapulgit 630 mg
ekstrak Psidii Folium 23,5%, ekstrak Curcumae domesticae Rhizome 12,5%, ekstrak Coix lacrima jobi Semen 18%, ekstrak Phellodendri Radix 23%, ekstrak Coptidis Rhizome 23%
attapulgit 650 mg, pektin        50 mg
attapulgit aktif 600 mg

norit 125 mg
Biodiar® (tablet)
Diapet®  (tablet)
Diapet NR® (kapsul)




Neo Entrostop® (tablet)
New Diatabs® (tablet)
Norit® (tablet)
1  (1,1)
7  (7,8)
12 (13,3)





1   (1,1)a

16 (17,8)b

1   (1,1)
Anti motilitas
loperamid HCl 2 mg

Imodium® (tablet)
Inamid® (tablet)
Lodia® (tablet)
Motilex® (tablet)
Novadium® (tablet)
29 (32,2)c
1   (1,1)
10 (11,1)
2   (2,2)
1   (1,1)
Adsorben + antibiotik
attapulgit 630 mg + trimetoprim & sulfametoksazol 80 mg & 400 mg
Biodiar® (tablet) + Primadex Forte® (tablet)
 1   (1,1)
Lanjutan Tabel V.4
Mekanisme kerja
Kandungan
bahan aktif
Nama Obat

n (%)
Anti motilitas + antibiotik
loperamid HCl 2 mg + trimetoprim 80 mg & sulfametoksazol 400 mg

loperamid HCl 2 mg+ sulfametoksazol 800 mg & trimetoprim 160 mg




loperamid HCl 2 mg+ thiamfenikol


loperamid HCl 2 mg + tetrasiklin dapar fosfat setara tetrasiklin HCl 250 mg
Lopamid® (tablet) + Cotrimoksazol (tablet)

Loperamide HCl (tablet) + Primadex Forte® (tablet)
Lodia® (tablet) + Sanprima Forte® (tablet)

Imodium® (tablet) +
Thiamin® (tablet)

Xepare® (tablet) + Sanlin® (tablet)

1  (1,1)



1  (1,1)



1  (1,1)



1  (1,1)



1  (1,1)
Adsorben + anti motilitas
attapulgit aktif 600 mg + loperamid HCl 2 mg
New Diatabs® (tablet) + Gradilex® (tablet)
1  (1,1)
Anti motilitas + anti spasmodik + antibiotik
loperamid HCl 2 mg + metampiron 500 mg, ekstrak beladona 10 mg, papaverin HCl 25 mg + trimetoprim 80 mg & sulfametoksazol 400 mg
Motilex® (tablet) + Spasminal® (tablet) + Primadex Forte® (tablet)
1  (1,1)
Keterangan :
a  = ada 1 apotek yang memberi NeoEentrostop® + oralit
b = ada 1 apotek yang memberi New Diatabs® + oralit
c = ada 1 apotek yang memberi Imodium® + oralit








Gambar 5.2. menunjukkan jenis obat yang direkomendasikan berdasarkan mekanisme kerjanya.
Gambar 5.2. Mekanisme Kerja Obat yang Direkomendasikan

Jenis obat yang direkomendasikan dikelompokkan juga berdasarkan penamaan (generik-dagang) (Tabel V.5) dan berdasarkan penggolongan keamanannya (Tabel V.6)

Tabel V.5. Jenis Obat yang Direkomendasikan Berdasarkan Penamaan (generik – dagang)
Jenis Obat
n (%)
Dagang
80  (88,9)
Generik-dagang
2  (2,2)
Dagang-dagang
6  (6,7)
Dagang-dagang-dagang
1  (1,1)
Obat Cina tanpa registrasi
1  (1,1)

Tabel V.6. Golongan Obat yang Direkomendasikan
Golongan Obat
n (%)
Obat bebas
19  (21,1)
Obat keras
43  (47,8)
Obat herbal terstandar
19  (21,1)
Obat bebas-obat keras
2  (2,2)
Obat keras-obat keras
5  (5,6)
Obat keras-obat keras-obat keras
1  (1,1)
Obat cina tanpa registrasi
1  (1,1)

5.3. Informasi Obat
        Berikut ini adalah gambar persentase pemberian informasi obat oleh petugas apotek.
Gambar 5.3. Persentase Apotek Sampel Terkait Pemberian Informasi Obat

Tabel V.7 di bawah ini adalah tabel distribusi informasi obat yang diberikan oleh petugas apotek.
Tabel V.7. Distribusi Informasi Obat yang Diberikan oleh Petugas Apotek
Indikator
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
Indikasi
3   (3,3)
87   (96,7)
Kontraindikasi
          0   (0,0)
         90 (100,0)
Efek Samping
          0   (0,0)
         90 (100,0)
Cara Pemakaian
        37 (41,1)
         53   (58,9)
Dosis
        20 (22,2)
        56 (62,2)*
14   (15,6)
Waktu Pemakaian
        28 (31,1)
         62   (68,9)
Lama Pemakaian
        16 (17,8)
         74   (82,2)
Perhatian
          0   (0,0)
         90 (100,0)
Terlupa Minum Obat
          0   (0,0)
         90 (100,0)
Cara Penyimpanan
          0   (0,0)
         90 (100,0)
Cara Perlakuan Sisa Obat
          1   (1,1)
         89   (98,9)
Identifikasi Obat Yang Rusak
          0   (0,0)
         90 (100,0)
*ada pancingan

Berdasarkan Tabel V.7 tersebut tampak bahwa banyak petugas apotek yang memberikan informasi tentang cara pemakaian, waktu pemakaian serta dosis obat baik dengan atau tanpa pancingan dari klien. Tabel V.8 berikut adalah penjelasan mengenai dosis yang diberikan petugas apotek.
Tabel V.8. Distribusi Pemberian Keterangan Informasi Dosis oleh Petugas Apotek
Bentuk sediaan
Dosis
n (%)
Takaran
Frekuensi
Tablet
1 tablet





Tidak ada penjelasan
Satu kali sehari
Dua kali sehari
Tiga kali sehari
Setiap habis buang air besar
Setiap 3-5 jam
9 (10,0)
1 (1,1)
3 (3,3)
2 (2,2)
1 (1,1)

2 (2,2)
2 tablet



Tidak ada penjelasan
Dua kali sehari
Setiap habis buang air besar
Maksimal 6 tablet sehari
9 (10,0)
4 (4,5)
7 (7,8)

1 (1,1)
3 tablet
Setiap habis buang air besar
1 (1,1)
Tidak ada penjelasan
Tidak ada penjelasan
Dua kali sehari
Tiga kali sehari
Setiap habis buang air besar
Satu kali
Maksimal 3 tablet sehari
11 (12,2)
3 (3,3)
18 (20,0)
3 (3,3)

2 (2,2)
1 (1,1)
Kapsul
2 kapsul
Tidak ada penjelasan
Dua kali sehari
Setiap habis buang air besar
2 (2,2)
5 (5,6)
3 (3,3)
Tidak ada penjelasan
Dua kali sehari
Tiga kali sehari
1 (1,1)
1 (1,1)
Total


90 (100,0)





5.4. Informasi Non Obat
Di bawah ini adalah gambar persentase pemberian informasi non obat oleh petugas apotek.
Gambar 5.4. Persentase Apotek Sampel Terkait Pemberian Informasi Non Obat

Di bawah ini (Tabel V.9) adalah tabel distribusi informasi non obat yang diberikan oleh petugas apotek.
Tabel V.9. Distribusi Informasi Non Obat yang Diberikan oleh Petugas Apotek
Indikator
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
Makanan
1 (1,1)
89  (98,9)
Cairan (Elektrolit)
5 (5,6)
85  (94,4)
Pola hidup
0 (0,0)
90 (100,0)












BAB VI
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan data dari 90 apotek sampel di wilayah Surabaya yang mewakili seluruh apotek di Surabaya. Data-data tersebut merupakan data yang diambil dengan melakukan pengamatan langsung di apotek. Terhadap variabel patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan non obat. Data tersebut merupakan implementasi dari pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh suatu apotek pada khususnya, dan apotek di seluruh Surabaya pada umumnya.

6.1. Patient Assessment
Patient assessment yang diambil datanya adalah siapa yang sakit, berapa usia yang sakit, apa gejala yang dialami pasien, berapa lama pasien mengalami sakit, apa tindakan yang sudah dilakukan selama mengalami gejala, dan apa obat-obat lain yang sedang digunakan. Dilakukan pemilihan indikator tersebut karena penelitian ini mengacu pada metode WWHAM (What, Who, How long, Action, Medication) (Blenkinsopp, 2002). Selain itu, indikator-indikator patient assessment tersebut mewakili dari standar pelayanan kefarmasian di apotek dan sudah cukup memberikan petunjuk dan pegangan petugas apotek terhadap kasus swamedikasi diare pada lanjut usia dalam melakukan dan memutuskan tindakan selanjutnya (rekomendasi dan informasi obat dan non obat).
Dari data yang didapatkan, 54% apotek menggunakan patient assessment dalam melakukan pelayanan kefarmasian tanpa resep pada kasus diare lanjut usia. Sedangkan sebesar 46% sama sekali tidak menggunakan patient assessment dalam penentuan pemilihan obat diare yang sesuai dengan pasien. Dari sini dapat dilihat bahwa masih banyak apotek di wilayah Surabaya yang kurang memperhatikan profesionalisme dalam pelayanan.
Indikator siapa yang sakit/mengalami gejala-gejala diare ditanyakan oleh 33,3% petugas apotek. Indikator ini penting untuk mengetahui apakah yang datang ke apotek tersebut pasien ataukah klien selain pasien. Dari indikator tersebut petugas apotek dapat menentukan apakah yang dihadapi pasien langsung atau bukan yang dapat mempengaruhi cara pemberian informasi obat dan non obat oleh petugas apotek dalam pemberian layanan. Indikator ini penting untuk mengetahui terkait pasien/hubungan antara pasien dengan klien yang dihadapi. Sedangkan indikator usia pasien yang ditanyakan oleh 11,1% petugas apotek diperlukan untuk menentukan terapi yang sesuai terkait bentuk sediaan, cara pemakaian, dan dosis. Selain itu, dengan mengetahui siapa pasien dan umur pasien maka dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk lebih menggali informasi yang masih dibutuhkan dari pasien. Untuk pasien lanjut usia, misalnya terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan timbul kemungkinan adanya penyakit lain. Di sisi lain diare pada lansia ada kemungkinan terjadinya resiko dehidrasi. Menurut Dipiro (2008), pasien lanjut usia dan bayi (kurang dari satu tahun) sangat beresiko mengalami dehidrasi pada saat diare, sehingga perlu penanganan khusus.
Gejala merupakan tanda-tanda mengalami sakit tertentu. Dalam kasus diare pengenalan gejala perlu dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat keparahan sakitnya dengan kata lain untuk mempertimbangkan apakah diare yang diderita pasien perlu segera dirujuk ke dokter atau tidak. Dari sini dapat juga digunakan untuk memastikan apakah sakit yang diderita pasien sama dengan keluhannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 21 apotek (23,3%) melakukan patient assessment yang berupa frekuensi buang air besar dan hanya delapan apotek (8,9%) menanyakan konsistensi feses pasien.
Lama pasien diare mengalami sakit adalah untuk menentukan diare tersebut masuk kategori akut atau kronis. Diare akut adalah diare yang terjadi selama 14 hari atau kurang. Diare kronik adalah diare yang terjadi lebih dari 30 hari (Dipiro, 2008). Akan tetapi hanya enam (6,7%) apotek yang menunjukkan upaya untuk mengumpulkan data tersebut.
Dalam menentukan terapi perlu ditanyakan juga tindakan yang sudah dilakukan maupun obat-obat yang sedang digunakan. Hal ini diperlukan untuk melihat ada tidaknya interaksi obat sehingga drug related problems bisa minimal. Dari data penelitian hanya didapatkan 3,3% yang menanyakan tindakan yang sudah dilakukan dan obat-obat yang sedang digunakan pasien.

6.2. Rekomendasi
Pada variabel rekomendasi terdapat dua indikator yaitu berupa rujukan ke dokter dan berupa rekomendasi obat. Dalam menentukan rekomendasi tersebut petugas apotek mengacu kepada patient assessment yang telah dilakukan. Jadi patient assessment adalah untuk mendasari dilakukannya rekomendasi.
Pada penelitian ini, tidak ada satu petugas apotek pun yang memberikan rujukan ke dokter secara langsung. Namun ada satu apotek yang merekomendasikan obat diare disertai dengan pemberian rekomendasi rujukan ke dokter bila diare pasien sampai hari berikutnya masih terus berlanjut. Skenario yang disusun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pasien diare tersebut memerlukan rujukan ke dokter pada saat mengunjungi apotek tersebut, namun ada himbauan jika diare lebih dari 48 jam atau dua hari maka dihimbau untuk dirujuk ke dokter.
Pasien dilibatkan dalam pemilihan obat di 11 apotek (12,2%). Adanya persentase yang cukup tinggi ini dikarenakan petugas apotek ingin menghormati hak pasien untuk memilih obat setelah diberikan penjelasan tentang obat-obat diare tersebut. Selain itu juga adanya kemungkinan petugas apotek tidak ingin mengunggulkan suatu produk tertentu.
Macam-macam obat yang paling banyak diberikan berdasarkan mekanisme kerja adalah anti motilitas sebanyak 43 buah (48%) disusul dengan adsorben sebanyak 38 buah (43%). Dari 43 obat anti motilitas tersebut, 29 diantaranya adalah obat dengan nama paten Imodium®. Sedangkan adsorben yang banyak direkomendasikan antara lain obat dengan kandungan attapulgit aktif (n=16) dan obat yang mengandung beberapa ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai anti diare (n=12). Tidak hanya merekomendasikan satu jenis obat, beberapa apotek menyarankan agar pasien memperoleh terapi kombinasi, seperti anti motilitas dan antibiotik (n=5), adsorben dan antibiotik, adsorben dan antibiotik, dan anti motilitas, anti spasmodik, dan antibiotik. Pemberian obat yang bermacam-macam ini dikarenakan kurang lengkapnya informasi yang di dapatkan petugas apotek saat patient assessment terkait kasus diare pada pasien. Dilihat dari penyebab diare dari pasien adalah dikarenakan makanan pedas, oleh karena itu terapi yang paling tepat adalah dengan pemberian adsorben. Adsorben cara kerjanya adalah dengan mengadsorbsi cairan dalam feses (Dipiro, 2008).
 Setiap apotek mempunyai perbedaan dalam menginterpretasikan kasus diare pada pasien lanjut usia. Ini disebabkan kurang lengkapnya patient assessment terkait gejala dan kemungkinan penyebab diare pasien yang dilakukan oleh petugas apotek  Ini berakibat salah satunya pada pemberian terapi berupa obat.
Pengelompokan rentang harga di pada penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan persebaran harga yang ditentukan oleh apotek di wilayah Surabaya terhadap tanggung jawab yang diberikan. Pemberian obat terbanyak adalah pada harga kurang dari Rp. 2.501,00 yaitu sebanyak 32 apotek dan pemberian obat pada harga lebih dari Rp. 17.500,00 hanya dilakukan oleh satu apotek. Ini menunjukkan bahwa pelayanan apotek tetap memperhatikan biaya yang minimal untuk mendapatkan terapi yang maksimal.
Jenis obat yang direkomendasikan oleh 81 apotek merupakan obat dagang. Meskipun pemerintah mewajibkan penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan, jenis obat generik yang tersedia untuk kasus diare terbatas sehingga tidak memungkinkan petugas apotek memberikan obat generik.
Data golongan obat dari pengamatan ini adalah obat keras 43 apotek, obat bebas 19 apotek, obat herbal terstandar 19 apotek, diikuti obat keras-obat keras, obat bebas-obat keras, obat keras-obat keras-obat keras, dan juga mendapatkan obat cina yang tidak tercantum nomor registrasinya. Obat keras khususnya dengan bahan aktif loperamid HCl paling banyak direkomendasikan dalam kasus ini. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter (Depkes RI, 2006). Dari sini dapat diketahui ada suatu kekurangpatuhan atau kekurangpemahaman petugas apotek dalam pelayanan kefarmasian. Di Australia, loperamid HCl termasuk golongan obat bebas terbatas yang dijual bebas di apotek. Jadi berbeda negara berbeda juga kebijakannya.

6.3. Informasi Obat
Pemberian informasi adalah untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan atau medication error (Pemerintah RI, 2009). Informasi obat ditujukan untuk tercapainya efek terapi yang optimal dengan medication error yang minimal.
Pada penelitian ini 92% apotek memberikan informasi obat baik secara langsung maupun menggunakan pancingan terlebih dahulu. Ini menunjukkan adanya upaya dari petugas apotek untuk bertanggung jawab terhadap keefektifan, keamanan, dan keefisianan dalam penggunaan obat.
Penjelasan indikasi perlu diberikan dalam pelayanan kefarmasian karena ada beberapa obat kombinasi yang direkomendasikan petugas apotek dan juga adanya antibiotik yang direkomendasikan sehingga pasien paham tujuan terapi masing-masing obat dan juga dapat meminimalkan kesalahan menggunakan obat. Dari data ada apotek yang memberikan tiga obat yang berbeda sekaligus (anti motilitas, anti spasmodik, dan antibiotik secara bersamaan), sehingga klien perlu ditunjukkan indikasi masing-masing obat. Apotek yang melakukan informasi obat berupa indikasi hanya sebanyak tiga apotek (3,3%).
Dosis adalah sangat penting dalam pemberian terapi obat pada kasus diare lanjut usia. Dosis menentukan keberhasilan terapi pasien karena obat diare sangatlah banyak jenisnya di mana setiap obat memiliki dosis tertentu untuk mewujudkan terapi yang tepat dan optimal sebagai contoh banyak obat diare yang sekali minum dua tablet atau kapsul terutama obat-obat adsorben, misalnya obat dengan kandungan attapulgit (ISFI, 2008). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pancingan terhadap informasi obat berupa dosis apabila informasi tersebut tidak disampaikan langsung oleh petugas apotek. Dari data pengamatan didapatkan 20 apotek (22,2%) yang memberikan informasi dosis secara langsung tanpa dipancing, 56 apotek (62,2%) memberikan informasi dosis dengan pancingan, dan 14 apotek (15,6) tidak memberikan informasi tersebut. Ini menunjukkan bahwa masih banyak pelayanan kefarmasian di apotek yang melewatkan pemberian informasi penting tersebut.
Memberikan informasi obat berupa dosis berarti menginformasikan tentang takaran dan frekuensi pemakaian. Dari data penelitian terlihat ada dua bentuk sediaan yang direkomendasikan, yaitu tablet sebanyak 78 apotek (86,7%) dan kapsul sebanyak 12 apotek (13,3%). Persentase tertinggi dari bentuk sediaan tablet adalah pada dosis tiga kali sehari yaitu sebesar 20%. Sedangkan persentase tertinggi dari bentuk sediaan kapsul adalah pada dosis dua kali sehari dua kapsul yaitu sebesar 5,6%. Takaran dan frekuensi yang bermacam-macam tersebut menunjukkan obat yang direkomendasikan sangat beragam tergantung pada kandungan bahan aktif obat. Hal ini dapat disebabkan persepsi petugas apotek yang satu dengan petugas apotek yang lain berbeda dalam melihat keadaan pasien, apalagi yang datang ke apotek bukan pasien sendiri. 
Waktu dan lama pemakaian adalah mengacu pada keefektifan penggunaan obat. Dari pengamatan didapatkan data beberapa apotek merekomendasikan lebih dari satu obat. Sebagai contoh ada apotek yang merekomendasikan obat diare dan antibiotik. Ini perlu kejelasan kapan obat diare dan antibiotik digunakan, selain itu juga penting untuk mengetahui sampai kapan kedua obat tersebut dihentikan. Apotek yang memberikan informasi obat berupa waktu dan lama pemakaian berturut-turut adalah 31,1% (28 apotek) dan 17,8% (16 apotek). Jadi masih banyak apotek yang tidak memberikan informasi tersebut.

6.4. Informasi Non Obat
Informasi non obat penting dilakukan untuk menunjang keberhasilan terapi. Informasi non obat dalam penelitian ini terdiri dari tiga indikator, yaitu makanan, cairan elektrolit, dan pola hidup.
Sebanyak 7% apotek memberikan informasi non obat. Hasil ini sangat rendah menimbang pada kasus diare tersebut perlu pemberian informasi non obat terkait pasien yang dihadapi adalah lanjut usia dan juga penyebab diare adalah keracunan makanan pedas.
Beberapa makanan tidak tepat diberikan jika sifatnya mengiritasi saluran gastrointestinal atau jika makanan itu adalah penyebab diare (Dipiro, 2008). Selain obat, makanan juga menentukan keberhasilan terapi. Pada skenario kasus ini diare pasien kemungkinan disebabkan keracunan oleh makanan pedas, sehingga sangat penting juga untuk menentukan terapi non obat yang sebaiknya diberikan kepada pasien. Namun kenyataannya dari 90 apotek hanya satu apotek yang memberikan informasi terkait makanan.
Pasien dalam kasus ini adalah lanjut usia. Lanjut usia mempunyai kemungkinan tinggi terjadinya dehidrasi dan dapat membahayakan keadaan pasien. Pemberian cairan elektrolit dalam kasus ini sangat penting pada pasien lanjut usia (Dipiro, 2008). Pemberian informasi non obat berupa cairan elektrolit hanya terdapat pada lima apotek (5,6%). Dari lima apotek tersebut, tiga diantaranya langsung merekomendasikan pemberian oral rehydration solution tanpa pemberian informasi cara pembuatannya. Dua apotek lainnya memberikan informasi berupa oral rehydration solution serta pembuatan larutan gula dan garam. Informasi pembuatan larutan gula dan garam tersebut kurang tepat diberikan mengingat oral rehydration solution yang dibutuhkan tubuh karena dehidrasi akibat diare tersebut mempunyai komposisi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Ini menunjukkan rendahnya pemahaman atau kurang tanggapnya petugas apotek terhadap pasien dengan kasus diare pada lanjut usia dan juga disebabkan oleh patient assessment yang kurang lengkap.








BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini rata-rata patient assessment yang dilakukan oleh petugas apotek kurang lengkap dan informasi yang seharusnya digali dari pasien tidak dilakukan. Patient assessment yang kurang tepat dan kurang lengkap berimplementasi pada pemberian rekomendasi, informasi obat, dan non obat yang kurang tepat dan kurang lengkap pula.
Dilihat dari data penelitian yang didapat, semua apotek merekomendasikan pemberian obat dan satu apotek yang memberikan saran berupa rujukan ke dokter jika sampai hari berikutnya diare pasien belum sembuh. Dalam kasus ini rekomendasi obat adalah tepat karena keadaan diare pasien masih dalam kondisi ringan sehingga belum perlu dilakukan rujukan ke dokter. Namun pemilihan obat sebagai sarana terapi pada pelayanan kefarmasian tanpa resep banyak yang kurang tepat, karena pada kasus ini pasien menderita diare kemungkinan besar disebabkan oleh keracunan tetapi banyak apotek yang memberikan obat keras dan juga antibiotik yang harus diberikan dengan resep dokter. Terapi yang paling tepat dan efektif adalah adsorben.
Banyak apotek yang sangat kurang dalam pemberian informasi obat. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petugas apotek terkait obat dan juga kemungkinan banyak petugas apotek yang berasal bukan dari bidang kefarmasian. Profesionalisme pelayanan terkait informasi obat kurang terpenuhi. Inilah yang menyebabkan terjadinya kesalahan dan kurang tepatnya pemakaian suatu obat sehingga terapi yang diinginkan tidak tercapai secara optimal.
Dari data yang diperoleh menunjukkan rendahnya informasi non obat yang diberikan petugas apotek, salah satunya disebabkan dari kurang lengkapnya informasi yang dikumpulkan dari pasien pada saat patient assessment.
Secara umum pelayanan kefarmasian tanpa resep di apotek wilayah Surabaya dengan kasus diare pada lanjut usia adalah masih jauh di bawah standar pelayanan kefarmasian di apotek.
7.2. Saran
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian tanpa resep di apotek, diperlukan :
1.      Adanya intervensi dari pemerintah, sebagai contoh pemerintah/instansi kefarmasian sebagai kontrol pelayanan kefarmasian di apotek.
2.      Upaya dari pihak apotek untuk lebih mengutamakan kualitas pelayanannya sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap apotek sebagai tujuan pengobatan semakin tinggi.
3.      Dibuat undang-undang yang ketat dengan diberlakukannya sanksi terhadap apotek-apotek yang melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku.






















DAFTAR PUSTAKA

Blenkinsopp, A., dan Paxton, P., 2002. Syptoms in The Pharmacy A Guide to The Management of Common Illness. Malden: Blackwell Publishing.
Chua, S.S., Ramachandran, C.D., dan Paraidathathu, T.T., 2006. Response of          community pharmacists to the presentation of back pain : a simulated patient study. The International Journal of Pharmacy Practice, p. 171-178.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C., 1988. Pharmaceutical Care Practice: Mc Graw Hill.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Keputusan Menteri Kesehatan  Republik Indonesia Tentang Pedoman P2D.  Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009a. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009b. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Dipiro, J.T., dkk., 2008. Constipation, Diarrhea, and Irritable Bowel Syndrom. Pharmacotherapy Principles & Practice: Mc Graw Hill, p. 311-316.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 2008. Informasi Spesialite Obat Indonesia Vol. 43. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan, p. 379-385.
Indriyanti, 2009, Hubungan Pengetahuan Orang Tua Dengan Tindakan Swamedikasi Batuk Pada Anak Balitanya Di Wilayah Wonogiri, http://etd.eprints.ums.ac.id/5835/, 13 Nopember 2010.
Lynn, M.R., 1986. Determination and Quantification Of Content Validity, vol. 35, p. 382-386.
Nathan, A., 2002. Non-prescription Medicines, ed. 2. London: Pharmaceutical Press, p. 100-110.
Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. ed. 3. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pemerintah Republik Indonesia, 1998. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Pemerintah Republik Indonesia, 2009a. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2009 Tentang  Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia, 2009b. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Purwadi, 2004. Analisis Kebijakan : Pengendalian Harga Obat Melalui Kebijakan Obat Generik.
Purwanti, A., Harianto, dan Supardi S., 2004. Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003. Majalah Ilmu Kefarmasian, No. 2, Vol. 1, p. 102-115.
Ruane, J.M.,2005. Essentials of Research Methods. United Kingdom: Blackwell Publishing, p.62-63.
Singarimbun, M., dan Effendi, S., 1989. Metode Penelitian Survai. ed. Revisi. Jakarta: LP3ES.
Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Cv. Alfabeta.
Watson, M.C., Norris, P., dan Granas, A.G., 2006. A systematic review of the use of simulated patients and pharmacy practice research. The International Journal of Pharmacy Practice, p.83-93.
Wibisono, R., 2009. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian Perusahaan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wijayanti, 2008. Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, No. 1, Vol.7.



LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Check List

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN TANPA RESEP
DI APOTEK WILAYAH SURABAYA
DENGAN KASUS DIARE PADA LANJUT USIA

Tanggal Pengambilan Data           :   
Jam Pengambilan Data                 :                                                                              
Kode Apotek                                 :

Patient assessment
                                                                                                       Ya         Tidak        
1.                                                                                                                                                                                              Siapa yang sakit/mengalami gejala-gejala diare ?                              
                                                    
2.                                                                                                                                                                                              Berapa usia yang sakit diare ?                             
                                           
3.                                                                                                                                                                                              Apa gejala yang dialami pasien diare ?           
-          Frekuensi BAB tidak normal                                                       
-          Nyeri perut                                                                  
-          Perut kembung/mual/muntah                                      
-          Konsistensi feses                                                          
-          Lainnya…………..                                                       
                         
4.                                                                                                                                                                                              Berapa lama pasien diare mengalami sakit ?                    
                                                         
  1. Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami               gejala diare ?                                                                                                                   
6.                                                                                                                                                                                              Apa obat-obat lain yang sedang digunakan ?   

Rekomendasi






 

  1. Apakah berupa rujukan ?                                                    






 
8.      Apakah berupa rekomendasi obat ?                                   






 
-          Keterlibatan pasien dalam menentukan obat.          
-          Nama obat……………..
-          Harga …………….
-          Jenis obat………..
-          Golongan obat …………..

Informasi obat
                                                                    Ya        Tidak
  1. Indikasi                                                                               ............................................






 
10.  Kontraindikasi                                                                  ............................................






 
11.  Efek samping                                                                    ……………………………






 
12.  Cara pemakaian                                                               ...........................................






 
13.  Dosis                                                                                  ……………………………
                                                                          *                          
14.  Waktu pemakaian                                                            ……………………………


 
15.  Lama pemakaian                                                             ……………………………






 
16.  Perhatian                                                                        …………………………….






 
17.  Terlupa minum obat                                                        …………………………….

18.  Cara penyimpanan                                                          …………………………….






 
19.  Cara perlakuan sisa obat                                                   …………………………….






 
20.  Identifikasi obat yang rusak                                           …………………………….

Informasi non-obat






 

  1. Makanan                                                                        ……………………………






 
22.  Cairan                                                                            …………………..






 
23.  Pola hidup                                                                     ……………………………






 

  1. Lain-lain……………                                  

Keterangan
*menunjukkan jika menggunakan pancingan terlebih dahulu
















Lampiran 2. Daftar Apotek Sampel

Tabel Daftar Apotek Sampel
KODE
NAMA APOTEK
ALAMAT
1.
ADINDA
Rungkut Menanggal Harapan U-6
2.
AGRIPA
Pucang Anom 26
3.
ALQI
Tanah Merah Utara 144
4.
AMELIA
Pucang Anom Timur 16
5.
ASRI FARMA
Dharmahusada 164
6.
BRAIN KLINIK
Sulawesi 63
7.
BRATANG
Bratang Gede 78
8.
BUHARI
Darmo Indah Sari EE-22
9.
BUMY AMCA II
Tambah Rejo 114
10.
CANDI MAS
Simo Gunun g Barat tol 11 No. 60
11.
CENTRO
Wonorungkut Utara RK 86
12.
CENTURY
Pakuwon Trade Centre
13.
CHE-CHE
Lidah Wetan
14.
CITRA 1
Ketintang 156
15.
CnC
Pacuan Kuda 27
16.
EDI
Pasar Kembang 114
17.
ELVEKA FARMA
Kebonsari Elveka II 26-28
18.
EMMY FARMA
Dukuh Menanggal 19
19.
ENGGAL WARAS 
SMEA 25
20.
ESTI FARMA
Kertajaya Indah Tengah 27
21.
EXPRESS
Raya Semolowaru 1/2
22.
GARUDA INTI FARMA
Songoyudan 28
23.
GRAHA TATA (GRAHA FARMA)
Raya Bukit Darmo Golf R-07
24.
HIKMAH MEDIKA
Kedung Cowek 182
25.
IBUNDA
K.H. Mas Mansyur 201
26.
INDAH FARMA 2
Simpang Darmo Permai Selatan 22
27.
K-24
Raya Tandes Lor No. 22B
28.
KANA FARMA
Klampis Jaya 31S Ruko Klampis 88/B-18
29.
KENCANA
Sidotopo Wetan 5/24
30.
KENDUNG FARMA
Raya Kendung RT 3/RW 3 No. 76
31.
KENJERAN
Raya Mulyosari 210
32.
KHRISTA (CV. KUSUMA)
Kupang Indah VIII/24
33.
KIMIA FARMA 25
Raya Darmo 2-4
34.
KIMIA FARMA 52
Raya Dukuh Kupang 54
35.
KIMIA FARMA 166
Ahmad Yani 228
36.
KIMIA FARMA 243
Raya Arjuno 151
37.
KUSUMA
Kusuma Bangsa 49
38.
LANCAR
Simpang Darmo Permai Utara 29
39.
MARISA
Pandegiling 258
40.
MARLIDA
Balongsari Tama Tengah VIII A/6
41.
MERCURY
Griya Kebraon Selatan IX/Blok FA 41
42
METROFARMA
Undaan Wetan 60A
43.
MITRA BARAT
Raya Kendung 49B
44.
MITRA JAYA 2
Griya Kebraon Selatan A-11B
45.
MONICA FARMA
Kedung Cowek 69
46.
MUGI WARAS
Darmo Trade Centre LDA B-777
47.
MUJIZAT
Manyar Kertoadi 37
48.
MUJUR
Pucang Adi 33
49.
MUSTIKA JAYA I
K.H. Mas Mansyur 142
50.
NOVEM
Tidar 234
51.
NUSANTARA
Undaan Kulon 109
52.
OKEY FARMA
Ngagel Rejo Kidul 81
53.
PACAR KELING
Pacar Keling 18
54.
PAMENANG
Darmo Permai Selatan 1/4
55.
PANGESTU
Jetis Baru 5
56.
PHILIA
Baruk Utara XV/ND 113
57.
POLI FARMA 61
W.R. Supratman 61
58.
POZ PRIMA
Mulyosari 168 A
59.
PRIMA ANUGRAH
Tandes Lor IA/7A
60.
PUCANG ADI
Pucang Adi 70
61.
PUSPASARI
Raya Menganti 19
62.
RATNA
Kedung Cowek 66
63.
SALEM FARMA
Ngagel Rejo Utara 35
64.
SATYA FARMA
Diponegoro 97
65.
SELARAS
Nginden Semolo 7
66.
SEMBILAN
Ruko Taman Gapura Blok B/8
67.
SEMEMI
Raya Sememi Blok I/VII
68.
SENANG
Pecindilan 8
69.
SENDY
Menganti Gemol 122
70.
SERAYU
Ronggowarsito 3
71.
SHINTA FARMA
Manukan Tama Blok III-I/15
72.
SIAGA FARMA
Parangkusumo 2
73.
SIP 2
Dharmahusada Indah Timur No. 8
74.
SRIWIJAYA
Bratang Binangun 31
75.
STEVEN 2
Petemon Barat 205
76.
SUKOMANUNGGAL
Sukomanunggal Jaya I No. 42
77.
SUKSES
Ruko Taman Gapura No. F12 Citraland
78.
SUPER FARMA
Kedung Cowek 58
79.
SURYA MEDITAMA
Raya Manukan Tama No. 197-199
80.
TIGA DUA LIMA
Demak 325
81.
TRIJAYA ABADI
Barata Jaya 19/48A
82.
TRISULA FARMA
Raya Manukan Tengah 10A No. 11
83.
ULIF FARMA
Simohilir Timur Raya 2-F No. 16
84.
VITO
Mulyosari PB 17 No. 140
85.
WALUYO
Bendul Merisi 6
86.
WIDYA FARMA
Kampung Malang Tengah I/7
87.
WIJAYA KUSUMA
Ahmad Yani 252
88.
YANI MULYA FARMA
Ahmad Yani 243
89.
ZAHIRA
Semolowaru Utara V No. 3
90.
ZEVI
Raya Dukuh Kupang 120




monggo dikomen Pak Lik.. Bu Lik..